![]() |
futurepredictions.com |
Judulnya sadis ya..? ah nggak juga, kejadian yang sebenarnya
lebih mengerikan karena kita tidak menyadari proses tersebut bahkan kita
menikmatinya. Proses matinya otak itu terasa enak dan membikin ketagihan.
Apa..?!
Otak kita sangatlah hebat, sang maha kuasa merakit prosesor
itu sedemikian kecil, kompleks, canggih dan WOW!.
Semua yang ditangkap oleh
panca indera kita dengan hitungan seper sekian juta detik diproses otak dan
langsung dikoordinasikan kepada semua tubuh untuk melakukan respon.
Otak juga mengenal sistem penyimpanan yang handal dengan harddisk unlimited alias tidak terbatas bro. Semua stimulus yang
diterima bisa disimpan. Otak dengan otomatis akan memilah mana yang akan segera
di delete dan mana yang akan disimpan
dalam long term memory, sebuah
ingatan jangka panjang yang sulit terlupakan.
Luar Biasa…!
Media Masa
Berita adalah makanan pokok kedua kita. Setiap hari kita
disuguhi berbagai macam jenis berita melalui media, baik cetak maupun
elektronik. Dengan kondisi seperti ini alhasil konsumsi berita kita sangat
tidak terkontrol. Belum lagi berita gosip yang saban hari kita dengar di
kantor.. halah!
Parahnya kebanyakan berita yang kita konsumsi adalah berita
buruk. Korupsi, pembunuhan, penculikan, penyuapan, kecelakaan, ledakan gas
elpiji, perceraian dan berita negatif lainnya selalu menemani keseharian kita
(juga anak kita…sekali lagi ingat, termasuk anak kita).
Arry Rahmawan (2012) mencatat, perbandingan berita positif
dan negatif yang ditayangkan stasiun televisi di Indonesia rata-rata 1
berbanding 11. Satu untuk berita positif dan 11 untuk berita negatif.
Bayangkan, setiap satu berita baik diikuti sebelas berita buruk.. ck..ck..ck.
Koran pun tak ketinggalan. Headline yang terpampang hampir menampilkan judul yang mencemaskan, menimbulkan pesimisme dan ketidakpastian.
Bad News, is Good News
barangkali memang benar. Berita berita yang mengangkat isu - isu negatif laku
keras. Rating televisi yang menayangkan
perdebatan, permusuhan dan berita kriminal cukup tinggi. Koran kuning yaitu
sebutan buat Koran yang banyak meliput berita negatif seperti Pos Kota yang
beredar di Jakarta mempunyai oplah di atas Koran kompas yang berada di level
nasional.
Lho kok bisa..?
kenapa berita yang semakin negatif semakin laku..?
Sebenarnya otak kita adalah netral. Tidak mengenal berita
baik maupun buruk, semuanya diproses dengan sama. Pemilahan mana yang benar
dan mana yang salah adalah hasil dari pengetahuan tentang aturan, agama,
pengalaman, dan bahkan trauma.
Otak kita lebih mudah menangkap dan merespon sesuatu yang
berbeda, yang menarik, yang lain dari kebiasaan.
Berita negatif (kita bahas
yang negatif saja ya), dimana semua kejadian adalah di luar seharusnya
kehidupan normal akan ditangkap dengan cepat dan disimpan oleh otak. Kenapa
ditangkap cepat oleh otak, karena kita menikmati berita tersebut dan
menginginkannya. Kemudian setelah diproses di otak diteruskan dengan respon
yang mendukung berita tersebut. Misalnya membicarakannya atau mencari info ter-update perkembangannya.
Nah, ketika stimulus menarik tersebut tertangkap indera
(mata, telingga) kita berulang kali maka kadar menariknya akan berkurang bagi
otak kita. Lama lama otak tidak tertarik
lagi, otak memerlukan berita lebih buruk lagi agar tertarik. Ketika informasi
tersebut telah menumpuk, maka sikap kita juga akan terpengaruh.
Sebuah contoh, ketika pertama kali Edy Tanzil korupsi di era orba dan
diberitakan semua masyarakat Indonesia terkejut, bahkan menjadi pembicaraan hangat
di masyarakat selama berbulan – bulan. Otak kita merespon setiap informasi
tentang si Edy, mencari kabar perkembangannya, oplah Koran meningkat gila -
gilaan. Namun sekarang dengan banyaknya kasus korupsi, maka kasus korupsi dianggap oleh otak kita tidak menarik lagi.
Kita bahkan membaca atau mendengar berita korupsi dengan wajah datar tanpa
ekspresi.
Begitu pula berita lain, semakin sering terdengar maka otak
akan menganggap berita tersebut menjadi biasa. Memerlukan berita lebih negatif untuk diperhatikan otak
kita.
Otak kita memang hebat dalam beradaptasi, karena manusia
memerlukan adaptasi untuk bisa meningkatkan kualitas kehidupan.
Tapi yang ini
adaptasi yang berbahaya. Bayangkan jika otak kita menganggap penyimpangan itu
menjadi hal yang biasa. Maka semua kadar kehidupan kita akan berubah. Norma
bergeser, asas kepatutan dan kesopanan akan runtuh, dan aturan agama mengikuti
keinginan manusia. Ingat psikologi Kodok kan..?
Survey World Jusctice
Project yang menempatkan Indonesia peringkat ke 47 dari 65 negara paling korup
di dunia, dan kita santai saja. Kawin cerai, perselingkuhan, punya anak dulu
nikah belakangan, perkelahian berujung kematian dan masih banyak lagi telah
menjadi sesuatu yang tidak terlalu mengusik
diri kita. Kita tidak lagi terkejut dengan berita - berita itu.
Dengan kata lain sang
Otak telah Imun terhadap berita yang berulang, meski seburuk apapun berita
tersebut..! Otak kita telah tidak berfungsi. Sensitifitasnya terganggu.
Otak kita telah mati kawan!
Ketika hal itu terjadi maka ada dua kemungkinan efek bagi
kita, pertama kita menerima terhadap
sesuatu yang buruk dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar, kedua kita trauma terhadap sesuatu yang
buruk. Keduanya berujung sama yaitu meningkatnya ketidakpedulian terhadap sesama.
Menurut Unconsious
Collective (oleh Carl G. Jung) semua informasi yang masuk melalui panca
indera akan tersimpan dalam alam bawah sadar dan menimbulkan energi kolektif
antar manusia. Sebuah transfer energi yang dapat ditangkap oleh gelombang antar otak manusia. Ini sejalan dengan
teori Psikotransmiter (mempengaruhi
pikiran jarak jauh), bahwa otak memancarkan gelombang tertentu yang dapat
ditangkap oleh otak lain. Artinya sebuah penyimpangan akan memicu penyimpangan
yang lain. Sebuah keburukan akan memicu keburukan yang berjamaah. WOW!
Otak diciptakan untuk berpikir, menelaah, menyimpulkan dan memproses
informasi untuk menghasilkan sesuatu yang berguna. Untuk memilah mana yang baik
dan mana yang buruk berdasarkan norma, ajaran agama dan hati nurani.
Otak adalah sebuah alat hebat, namun kitalah yang harus
pandai mengaturnya. Seperti halnya komputer, apakah mau digunakan untuk bekerja,
untuk game, untuk menghasilkan uang atau yang lain sangat tergantung kita yang
menggunakan. Namun dibanding komputer otak kita bisa menyimpulkan secara
otomatis, otak kita bisa membuat sistem baru yang bernama persepsi berdasarkan
kebiasaan bagaimana otak digunakan dan sejauh mana otak mampu digunakan.
Saya pikir sudah saatnya kita membiasakan menggunakan otak
kita untuk sesuatu yang positif, karena dengan itu kita terbiasa dengan
kebaikan dan sesuatu yang positif sehingga ‘kebutuhan’ akan sesuatu yang positif
akan meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas.
Mari tegas untuk mengurangi konsumsi sesuatu yang buruk
sehingga otak kita tidak bebal menghadapi keburukan, sehingga kita bisa tegas
untuk mencegah dan menghindarinya.
Salam Otakotak
No comments:
Post a Comment