Monday, October 1, 2012

Matinya OTAK oleh Berita


futurepredictions.com
Judulnya sadis ya..? ah nggak juga, kejadian yang sebenarnya lebih mengerikan karena kita tidak menyadari proses tersebut bahkan kita menikmatinya. Proses matinya otak itu terasa enak dan membikin ketagihan. Apa..?!

Otak kita sangatlah hebat, sang maha kuasa merakit prosesor itu sedemikian kecil, kompleks, canggih dan WOW!.
Semua yang ditangkap oleh panca indera kita dengan hitungan seper sekian juta detik diproses otak dan langsung dikoordinasikan kepada semua tubuh untuk melakukan respon.

Otak juga mengenal sistem penyimpanan yang handal dengan harddisk unlimited alias tidak terbatas bro. Semua stimulus yang diterima bisa disimpan. Otak dengan otomatis akan memilah mana yang akan segera di delete dan mana yang akan disimpan dalam long term memory, sebuah ingatan jangka panjang yang sulit terlupakan.

Luar Biasa…!

Media Masa
Berita adalah makanan pokok kedua kita. Setiap hari kita disuguhi berbagai macam jenis berita melalui media, baik cetak maupun elektronik. Dengan kondisi seperti ini alhasil konsumsi berita kita sangat tidak terkontrol. Belum lagi berita gosip yang saban hari kita dengar di kantor.. halah!


Parahnya kebanyakan berita yang kita konsumsi adalah berita buruk. Korupsi, pembunuhan, penculikan, penyuapan, kecelakaan, ledakan gas elpiji, perceraian dan berita negatif lainnya selalu menemani keseharian kita (juga anak kita…sekali lagi ingat, termasuk anak kita).

Arry Rahmawan (2012) mencatat, perbandingan berita positif dan negatif yang ditayangkan stasiun televisi di Indonesia rata-rata 1 berbanding 11. Satu untuk berita positif dan 11 untuk berita negatif. Bayangkan, setiap satu berita baik diikuti sebelas berita buruk.. ck..ck..ck.

Koran pun tak ketinggalan. Headline yang terpampang hampir menampilkan judul yang mencemaskan, menimbulkan pesimisme dan ketidakpastian.

Bad News, is Good News barangkali memang benar. Berita berita yang mengangkat isu - isu negatif laku keras. Rating televisi yang menayangkan perdebatan, permusuhan dan berita kriminal cukup tinggi. Koran kuning yaitu sebutan buat Koran yang banyak meliput berita negatif seperti Pos Kota yang beredar di Jakarta mempunyai oplah di atas Koran kompas yang berada di level nasional.

Lho kok bisa..?
kenapa berita yang semakin negatif semakin laku..?

Sebenarnya otak kita adalah netral. Tidak mengenal berita baik maupun buruk, semuanya diproses dengan sama. Pemilahan mana yang benar dan mana yang salah adalah hasil dari pengetahuan tentang aturan, agama, pengalaman, dan bahkan trauma.
Otak kita lebih mudah menangkap dan merespon sesuatu yang berbeda, yang menarik, yang lain dari kebiasaan.

Berita negatif (kita bahas yang negatif saja ya), dimana semua kejadian adalah di luar seharusnya kehidupan normal akan ditangkap dengan cepat dan disimpan oleh otak. Kenapa ditangkap cepat oleh otak, karena kita menikmati berita tersebut dan menginginkannya. Kemudian setelah diproses di otak diteruskan dengan respon yang mendukung berita tersebut. Misalnya membicarakannya atau mencari info ter-update perkembangannya.

Nah, ketika stimulus menarik tersebut tertangkap indera (mata, telingga) kita berulang kali maka kadar menariknya akan berkurang bagi otak kita. Lama lama otak  tidak tertarik lagi, otak memerlukan berita lebih buruk lagi agar tertarik. Ketika informasi tersebut telah menumpuk, maka sikap kita juga akan terpengaruh.

Sebuah contoh, ketika pertama kali Edy Tanzil korupsi di era orba dan diberitakan semua masyarakat Indonesia terkejut, bahkan menjadi pembicaraan hangat di masyarakat selama berbulan – bulan. Otak kita merespon setiap informasi tentang si Edy, mencari kabar perkembangannya, oplah Koran meningkat gila - gilaan. Namun sekarang dengan banyaknya kasus korupsi, maka kasus korupsi  dianggap oleh otak kita tidak menarik lagi. Kita bahkan membaca atau mendengar berita korupsi dengan wajah datar tanpa ekspresi.

Begitu pula berita lain, semakin sering terdengar maka otak akan menganggap berita tersebut menjadi biasa. Memerlukan berita lebih negatif untuk diperhatikan otak kita.
Otak kita memang hebat dalam beradaptasi, karena manusia memerlukan adaptasi untuk bisa meningkatkan kualitas kehidupan.
Tapi yang ini adaptasi yang berbahaya. Bayangkan jika otak kita menganggap penyimpangan itu menjadi hal yang biasa. Maka semua kadar kehidupan kita akan berubah. Norma bergeser, asas kepatutan dan kesopanan akan runtuh, dan aturan agama mengikuti keinginan manusia. Ingat psikologi Kodok kan..?

Survey World Jusctice Project yang menempatkan Indonesia peringkat ke 47 dari 65 negara paling korup di dunia, dan kita santai saja. Kawin cerai, perselingkuhan, punya anak dulu nikah belakangan, perkelahian berujung kematian dan masih banyak lagi telah menjadi sesuatu yang tidak terlalu mengusik diri kita. Kita tidak lagi terkejut dengan berita - berita itu.

Dengan kata lain sang Otak telah Imun terhadap berita yang berulang, meski seburuk apapun berita tersebut..! Otak kita telah tidak berfungsi. Sensitifitasnya terganggu.
Otak kita telah mati kawan!

Ketika hal itu terjadi maka ada dua kemungkinan efek bagi kita, pertama kita menerima terhadap sesuatu yang buruk dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar, kedua kita trauma terhadap sesuatu yang buruk. Keduanya berujung sama yaitu meningkatnya ketidakpedulian terhadap sesama.

Menurut Unconsious Collective (oleh Carl G. Jung) semua informasi yang masuk melalui panca indera akan tersimpan dalam alam bawah sadar dan menimbulkan energi kolektif antar manusia. Sebuah transfer energi yang dapat ditangkap oleh gelombang  antar otak manusia. Ini sejalan dengan teori  Psikotransmiter (mempengaruhi pikiran jarak jauh), bahwa otak memancarkan gelombang tertentu yang dapat ditangkap oleh otak lain. Artinya sebuah penyimpangan akan memicu penyimpangan yang lain. Sebuah keburukan akan memicu keburukan yang berjamaah. WOW!

Otak diciptakan untuk berpikir, menelaah, menyimpulkan dan memproses informasi untuk menghasilkan sesuatu yang berguna. Untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan norma, ajaran agama dan hati nurani.

Otak adalah sebuah alat hebat, namun kitalah yang harus pandai mengaturnya. Seperti halnya komputer, apakah mau digunakan untuk bekerja, untuk game, untuk menghasilkan uang atau yang lain sangat tergantung kita yang menggunakan. Namun dibanding komputer otak kita bisa menyimpulkan secara otomatis, otak kita bisa membuat sistem baru yang bernama persepsi berdasarkan kebiasaan bagaimana otak digunakan dan sejauh mana otak mampu digunakan.

Saya pikir sudah saatnya kita membiasakan menggunakan otak kita untuk sesuatu yang positif, karena dengan itu kita terbiasa dengan kebaikan dan sesuatu yang positif sehingga ‘kebutuhan’ akan sesuatu yang positif akan meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas.
Mari tegas untuk mengurangi konsumsi sesuatu yang buruk sehingga otak kita tidak bebal menghadapi keburukan, sehingga kita bisa tegas untuk mencegah dan menghindarinya.

Salam Otakotak




No comments:

Post a Comment