Friday, October 29, 2010

PSIKOLOGI KORUPSI



Dari berbagai artikel dan pemberitaan tentang korupsi (maklum namanya juga negara dengan ranking korupsi tinggi), sering muncul pro dan kontra. Antara yang membenarkan dan yang tidak setuju bahwa seseorang yang dituduh korupsi benar – benar melakukan korupsi. Apapun kebenarannya biarlah aparat penegak hukum yang menentukan, lepas dari mereka juga akan korupsi atau tidak.

Namun mari kita coba sedikit pelajari tentang psikologi korupsi, atau bisa juga disebut psikologi koruptor.

Yang pertama, kita pahami arti dari korupsi terlebih dulu. Korupsi sendiri menurut Arrigo dan Claussen (2003) misalnya mendefinisikan sebagai ”mengambil atau menerima suatu keuntungan buat diri sendiri yang tidak sah secara hukum dikarenakan individu tersebut mempunyai otoritas dan kekuasaan”.

Dari pengertian tersebut tersirat bahwa korupsi harus dihubungkan dengan kepentingan orang banyak / publik. Karena tidak akan ada otoritas atau kekuasaan jika tidak berhubungan dengan orang lain. Jadi copet atau pencuri tidak bisa dikatakan korupsi, namun lebih mengarah kepada penipuan atau pencurian biasa. Namun penerima suap dapat dikatakan korupsi, karena suap biasanya bertujuan mengalahkan kepentingan public, baik dalam bentuk jalur khusus atau permakluman atas penyimpangan.

Di sisi lain korupsi adalah perilaku yang disengaja yang dilandasi dengan niat dan motivasi tertentu, demikian pernyataan salah satu dosen psikologi politik UI. Artinya sudah ada perencanaan sebelumnya, meskipun perencanaan tersebut hanya beberapa menit sebelum perilaku korupsi.

Mengapa ada perencanaan ? karena korupsi adalah tindakan yang tertutup dan rahasia. Sehingga memerlukan rencana yang jelas agar tetap tersembunyi dan terlihat tidak terjadi korupsi. Lalu mengapa orang melakukan korupsi ?

Ada beberapa pandangan ataupun teori yang bisa kita gunakan dalam melihat perilaku seseorang mengapa dia melakukan korupsi.
 
Pandangan Behaviorisme ; Seseorang melakukan sesuatu sebagai sebuah repon atas stimulus lingkungan. Hal tersebut akan diulang karena reward yang diterima dianggap menyenangkan atau menguntungkan. Menurut teori ini reward dan punishment sangat memegang peranan bagaimana seseorang mengembangkan perilaku.
Artinya seseorang melakukan korupsi karena memang ada kesempatan dan lingkungan yang mendukung dan korupsi dianggap memang sebagai perilaku yang menguntungkan.

Pandangan Socio-Cognitive Approach ; menambahkan bahwa selain reward dan punishment faktor kognitif juga mendukung, artinya setiap orang memiliki struktur kognitif yang dipelajari melalui proses p proses sosial.
Tentu saja disini korupsi terjadi karena adanya ‘pelajaran’ yang diterima seseorang dari lingkungannya. Entah dalam bentuk figur – figur koruptor, lemahnya sistem kontrol, tekanan ekonomi, atau pemikiran pemikiran lain yang mengarahkan seseorang untuk memutuskan bahwa korupsi adalah keputusan terbaik.

Pandangan teori kepribadian lain yang mengakui adanya traits atau sifat – sifat unik pada setiap individu memandang sebab korupsi sebagai sebuah ‘bakat’, maksudnya ada sifat – sifat tertentu dari seseorang yang mendorong perilaku negatif dalam hal ini adalah korupsi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang melakukan korupsi dikarenakan beberapa hal, yaitu kepribadian dari personal, lingkungan dimana seseorang tersebut berada, dan faktor sistem hukum dalam sebuah negara.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pencegahannya..?

No comments:

Post a Comment